Industri Perkebunan Sawit dan Hak Asasi Manusia

Potret Pelaksanaan Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi terhadap Hak Asasi Manusia di Kalimantan Tengah

Penelitian dasar ini adalah yang pertama kalinya di Indonesia menerapkan standar dan kisi-kisi hak asasi manusia secara komprehensif terhadap kinerja pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit.

Studi kasus diambil di Kalimantan Tengah sebagai provinsi dengan angka deforestasi tertinggi di Indonesia karena alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit. Hasil penelitian ini menyingkap bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia justru merupakan bagian dari penerapan prinsip keberlanjutan korporasi bisnis.

TUJUAN

  1. Mengidentifikasi dampak praktik bisnis perkebunan sawit terhadap kondisi hak asasi manusia di tingkat individu dan komunitas,
  2. Mengidentifikasi pelaksanaan tanggung jawab korporasi perkebunan sawit terhadap hak asasi manusia,
  3. Mengidentifikasi pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia dalam kaitannya dengan praktik bisnis perkebunan sawit,
  4. Mengidentifikasi penyelesaian-penyelesaian alternatif yang digagas dan dilakukan warga dan pemerintah serta perusahaan dalam mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dan pemulihannya,
  5. Merekomendasikan upaya-upaya dan skema-skema alternatif penyelesaian dan pemulihan dari dampak pelanggaran hak asasi manusia akibat praktik bisnis perkebunan sawit dan skema pengelolaan sumber daya alam berbasis hak asasi manusia sebagai upaya pencegahan.

SIGNIFIKANSI

Berbicara tentang hak asasi manusia adalah berbicara tentang peran dan tanggung jawab negara. Negara adalah pihak yang memiliki kuasa untuk mengatur individu dan masyarakat. Pada negara melekat kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi. Namun wacana tentang hak asasi manusia terus berkembang. Negara kini tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya aktor yang mengemban kewajiban di bidang hak asasi.

Ada aktor di luar negara yang semakin besar pengaruhnya bagi kehidupan individu dan masyarakat. Salah satunya adalah korporasi. Kekuasaan korporasi yang semakin besar dapat mempengaruhi negara dalam menjalankan kewajibannya di bidang hak asasi, terlebih di era liberalisasi ekonomi. Karenanya korporasi dapat dituntut untuk bertanggung jawab – baik terhadap hukum nasional maupun hukum hak asasi internasional.

Kewajiban korporasi terhadap hak asasi ini telah dimuat dalam Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Guiding Principle on Business and Human Rights). Dalam hal ini korporasi mengemban tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia.

Liberalisasi ekonomi membuat praktik bisnis oleh korporasi – baik lokal, nasional, maupun internasional – memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Semakin besarnya kekuasaan korporasi telah berdampak – langsung atau tidak langsung – terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara di bidang hak asasi. Salah satu sektor bisnis yang memiliki peran penting bagi ekonomi Indonesia dan karenanya memiliki kontribusi dalam pelaksanaan hak asasi di Indonesia adalah bisnis perkebunan sawit.

Selama dua dekade luas perkebunan sawit di Indonesia meningkat tajam dari beberapa ribu hektar pada 1989 menjadi 9,4 juta hektar pada 2011. Luasan ini diperkirakan mendekati 10 juta hektar pada Maret 2012.

Sebagai produsen sawit terbesar di dunia dan eksportir sawit terbesar nomor dua dunia setelah Malaysia, Indonesia menempatkan sawit sebagai komoditi penting yang memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Meningkatnya permintaan dunia akan kelapa sawit mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penyediaan lahan bagi industri perkebunan sawit. Ini didorong oleh semakin bertambahnya pelaku usaha dan investasi dalam bisnis perkebunan sawit.

Salah satu konsekuensi dari meluasnya industri perkebunan sawit di Indonesia adalah meningkatnya konflik agraria dan konflik sumberdaya alam. Beberapa organisasi masyarakat sipil mencatat bahwa korporasi perkebunan sawit merupakan penyumbang terbesar konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia.

Kalimantan Tengah tercatat merupakan daerah dengan intensitas konflik tertinggi. Konflik agraria dan konflik sumberdaya alam terjadi karena berbagai faktor. Selain dipicu oleh perluasan industri perkebunan sawit, konflik juga terjadi karena hak masyarakat adat atas tanah tidak diakui negara secara memadai.

Sementara proses perizinan di sektor eksploitasi sumberdaya alam tidak terkendali dan negara sering gagal dalam mengatur korporasi, melindungi hak warga dan gagal pula dalam menghormati hak asasi manusia.

Negara lebih banyak berpihak pada pemodal. Bisa dipahami apabila perluasan industri perkebunan sawit ini kemudian menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya adalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.

METODOLOGI

Pemilihan lokasi riset dilakukan di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Kotawaringin Timur, kabupaten Katingan, dan kabupaten Barito Timur. Ketiga kabupaten tersebut sengaja dipilih dengan pertimbangan berikut:

  1. Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kabupaten yang paling banyak terdapat perusahaan perkebunan sawit bermodal besar dan juga yang paling banyak mengalami konflik agraria dan sumber daya alam,
  2. Kabupaten Katingan merupakan kabupaten yang masuk dalam kategori daerah konservasi dan yang paling sedikit kehadiran perkebunan sawit skala besar,
  3. Kabupaten Barito Timur merupakan salah satu kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi, salah satu lumbung padi di Kalimantan Tengah, kaya dengan tambang, dan relatif paling baru dalam mengenal perkebunan sawit.

Dengan memilih tiga kabupaten yang memiliki perbedaan karakter dalam hal praktik bisnis perkebunan sawit, diharapkan dapat dilihat beragam dampak praktik bisnis perkebunan sawit terhadap kondisi hak asasi manusia, baik di tingkat individu maupun komunitas.

Dengan melihat keragaman praktik bisnis perkebunan sawit diharapkan juga dapat memotret beragam bentuk pelaksanaan tanggung jawab korporasi perkebunan sawit dan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.

Pemilihan responden dipilih secara sengaja, terdiri dari:

  1. Individu anggota komunitas adat dan komunitas transmigran yang berada di sekitar area perkebunan sawit, baik yang mengalami masalah maupun yang tidak mengalami masalah dengan pihak perusahaan sawit,
  2. Individu yang bekerja sebagai buruh perkebunan sawit,
  3. Komunitas adat dan komunitas transmigran yang berada di sekitar area perkebunan sawit,
  4. Manajer kantor dan manajer kebun, termasuk aparat keamanan perusahaan,
  5. Pejabat pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten terpilih, yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan industri perkebunan sawit.

Perusahaan sawit dipilih secara sengaja berdasarkan kriteria:

  1. Perusahaan sawit anggota RSPO dan non-anggota RSPO,
  2. Perusahaan sawit yang beroperasi relatif lama dan relatif baru,
  3. Perusahaan sawit dengan skala usaha relatif besar dan sudah beroperasi relatif lama.

Dengan memilih perusahaan sawit yang memiliki perbedaan karakter diharapkan dapat dipotret keragaman dampak perkebunan sawit terhadap hak asasi manusia.

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa pendekatan berikut:

  1. Diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan komunitas adat dan komunitas transmigran yang tinggal di sekitar perkebunan sawit,
  2. Wawancara terbuka dengan warga komunitas adat, warga komunitas transmigran dan buruh perkebunan sawit,
  3. Wawancara terbuka dengan pihak manajer kantor dan manajer kebun dari perusahaan perkebunan sawit terpilih,
  4. Wawancara terbuka dengan pejabat pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten, yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan praktik bisnis perkebunan sawit,
  5. Pengamatan,
  6. Analisa data sekunder.

RINGKASAN EKSEKUTIF

Hasil studi menunjukkan bahwa praktik bisnis di sektor perkebunan sawit di wilayah Kalimantan Tengah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan individu dan komunitas. Keberadaan industri perkebunan sawit telah memperburuk kualitas hidup warga dan komunitas. Warga dan masyarakat – baik masyarakat adat maupun masyarakat transmigran mengalami pelanggaran hak asasi, baik hak ekonomi, sosial, budaya maupun hak sipil.

Bisnis perkebunan sawit dijalankan dengan mengabaikan hak-hak warga dan komunitas. Pengabaian hak warga ini sudah terjadi sejak pengurusan izin. Perusahaan sudah beroperasi meskipun belum mengantongi semua perizinan yang dipersyaratkan.

Perusahaan tidak mematuhi ketentuan dan tidak menjalankan kewajiban yang dimandatkan dalam undang-undang yang terkait langsung dengan industri perkebunan sawit, yaitu Undang-Undang tentang Perkebunan, Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.

Ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan perkebunan sawit, pihak korporasi juga tidak menyediakan mekanisme pengaduan, penyelesaian dan pemulihan, termasuk ganti rugi yang adil bagi para korban.

Terkait dengan hak pekerja, korporasi perkebunan sawit cenderung menerapkan sistem hubungan kerja longgar dan pengupahan berbasis kerja paksa: upah rendah, penerapan sistem target, beban kerja dan resiko kerja tinggi tanpa jaminan sosial, dan pengawasan ketat.

Pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil warga dan komunitas dimungkinkan karena pemerintah tidak sepenuhnya menjalankan kewajibannya untuk melindungi hak warga dan komunitas.

Pemerintah gagal dalam menjalankan kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit. Terkait dengan industri perkebunan sawit pemerintah telah membuat aturan atau hukum, di antaranya adalah Undang-Undang tentang Perkebunan, Undang-Undang tentang Kehutanan, dan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun undang-undang tersebut tidak memadai dalam mengakui hak-hak warga dan komunitas. Selain sangat minim dalam menjamin hak warga dan komunitas, undang-undang tersebut juga tidak mengatur tentang sanksi bagi pihak ketiga yang melanggar hak-hak warga dan komunitas.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh rendahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajiban yang dimandatkan undang-undang, di antaranya adalah:

  • Membuat perencanaan perkebunan-kehutanan-lingkungan hidup,
  • Membuat peraturan tentang tata ruang yang secara efektif menjamin hak dan wilayah kelola masyarakat,
  • Melaksanakan sepenuhnya sistem perizinan,
  • Melaksanakan pengawasan terhadap perkebunan sawit yang sudah beroperasi dan penyelidikan terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran,
  • Melaksanakan penegakan hukum.

Ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, pemerintah cenderung membiarkan dan terkesan saling melempar tanggung jawab. Tidak ada mekanisme pengaduan dan penyelesaian efektif terkait pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak-hak warga yang dijamin dalam hukum nasional, tidak ada mekanisme pemulihan dan kompensasi bagi korban, dan juga tidak tersedia akses bagi korban untuk mendapatkan penyelesaian yang adil, baik melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan.

Hasil studi terkait tanggung jawab korporasi di sektor industri perkebunan sawit ini diharapkan dapat memperkuat wacana tentang tanggung jawab aktor non negara – khususnya korporasi – terhadap hak asasi manusia.

Selain itu, hasil studi ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para pihak, khususnya pemerintah, lembaga bisnis, lembaga-lembaga internasional, dan masyarakat sipil Indonesia dalam melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan penerapan parameter hak asasi manusia di sektor bisnis.

UNDUH SEGERA!
DOKUMEN LENGKAP DALAM BAHASA INDONESIA: DI SINI

UNDUH LAGI!
TEKS HASIL RISET DALAM BAHASA INGGRIS: DI SINI