Desa Waiara, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, baru terbentuk pada 2002. Desa yang berlokasi sejauh 12 kilometer dari ibukota kabupaten ini merupakan desa pemekaran dari Desa Namangkewa. Jumlah penduduk di desa ini tak lebih dari 601 KK, yang terdiri dari 2.369 jiwa.
Dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, sekilas desa ini memang tak jauh beda dengan desa-desa lain di kabupaten Sikka, khususnya di Kecamatan Kewapante. Namun bila kita mempelajari apa yang sudah dilakukan desa ini dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Desa, akan terlihat ada perbedaan antara Desa Waiara dengan kebanyakan desa-desa lainnya.
Setidaknya ada lima hal istimewa yang saya temukan pada Desa Waiara, yaitu:
- Kekompakan dan kerja sinergis perangkat desa dan BPD,
- Kekuatan proses belajar bersama antara pemerintah, BPD dan pendamping desa,
- Tingginya partisipasi warga dalam pembangunan desa,
- Pengelolaan dana desa untuk pemenuhan hak dasar warga,
- Adanya sistem untuk mengefektifkan penggunaan dana desa dan mencegah penyelewengan anggaran.
TINGGINYA PARTISIPASI WARGA
Di saat desa-desa lain masih menghadapi persoalan terkait rendahnya partisipasi warga dalam musyawarah desa, Desa Waiara sudah memetik buah dari tingginya partisipasi warganya. Persoalan rendahnya partisipasi warga yang dihadapi desa-desa lain di banyak tempat terjadi karena pemerintah desanya kurang melibatkan warga karena berbagai alasan atau karena masyarakatnya apatis karena berbagai alasan.
Hal serupa awalnya juga dialami Desa Waiara. Dulu ketika pihak desa mengundang warga untuk hadir dalam musyawarah desa, misalnya, tak banyak warga yang memenuhi undangan tersebut. Warga lebih memilih bekerja daripada harus membuang waktu menghadiri undangan dari desa.
Kondisi ini membuat pemerintah dan BPD memikirkan berbagai cara untuk meningkatkan partisipasi warga, khususnya dalam musyawarah desa. Berbagai jalan mereka tempuh, di antaranya:
- Pengiriman surat undangan tertulis pada warga,
- Penyampaian undangan lewat guru-guru di sekolah,
- Undangan tertulis yang disampaikan melalui kelompok-kelompok kepentingan yang ada di desa, dan juga
- Pengumuman keliling dengan menggunakan pengeras suara (toa).
Bukan hanya itu, Desa Waiara juga memanfaatkan sistem adat yang selama ini masih dipegang teguh oleh masyarakat, yaitu adat dulu dalang atau berkunjung ke rumah-rumah warga. Dengan menggunakan cara adat, warga merasa disapa secara personal dan kehadirannya benar-benar dianggap penting.
Meningkatnya peran serta warga dalam musyawarah desa tidak terlepas dari kekompakan dan kerjasama yang baik antara pemerintah desa dan BPD. Mereka berjibaku untuk membuat warga berperan serta mulai dari proses perencanaan. Bukan hanya itu. Pemerintah dan BPD Desa Waiara juga bekerjasama dalam menerjemahkan aspirasi masyarakat desa ke dalam RPJMD, RAPB Desa dan juga RKP Desa.
Selain itu mereka juga kompak dalam menghadapi pihak Kabupaten saat konsultasi penyusunan program pembangunan dan pengelolaan dana desa. Dalam hal ini pemerintah desa, BPD dan pendamping desa sama-sama belajar agar program yang mereka susun dapat diterima pihak Kabupaten dan sekaligus sesuai dengan usulan warga.
Kekompakan dan penerapan prinsip “belajar bersama” antara pemerintah, BPD dan pendamping desa dalam melaksanakan Undang-Undang Desa membuat mereka mampu mengatasi berbagai kesulitan dalam menyusun program dan mengelola dana desa. Sebelum terjadi proses belajar bersama antara pemerintah, BPD dan pendamping desa, Desa Waiara menghadapi kesulitan saat berkonsultasi dengan pihak kabupaten.
Konsultasi harus dilakukan sampai puluhan kali. Banyak usulan program yang mereka ajukan dicoret oleh kabupaten. Kondisi ini mendorong pemerintah, BPD dan pendamping desa berusaha keras dan belajar agar dapat mengatasi segala kesulitan yang muncul. Kini mereka cukup dua kali berkonsultasi dengan pihak kabupaten, usulan program dan pengelolaan dana disetujui pihak kabupaten tanpa banyak coretan.
Semua itu terjadi karena komitmen dan kekompakan pemerintah, BPD dan pendamping desa dalam menjalani proses belajar bersama untuk memahami aturan dan menemukan solusi atas berbagai kesulitan yang dihadapi desa. Proses konsultasi dengan pihak kabupaten tidak hanya dilakukan oleh pemerintah desa tetapi dilakukan bersama oleh pemerintah, BPD dan pendamping desa.
Dengan cara itu, mereka merasa pihak kabupaten tidak lagi semena-mena dan main coret program-program yang disusun berdasarkan musyawarah desa. Semakin mereka memahami aturan/ketentuan, semakin mudah mereka menghadapi intervensi dari pihak kabupaten.
Pemerintah dan BPD Desa Waiara merasa bersyukur mendapatkan pendamping desa yang mampu menjadi teman belajar dalam mengatasi berbagai kesulitan secara bersama. Proses belajar bersama inilah yang membuat Desa Waiara berbeda dengan desa-desa lainnya.
Tingginya peran serta warga Desa Waiara, khususnya dalam musyawarah desa, konon katanya membuat iri desa-desa lain. Awalnya desa-desa lain tidak percaya bahwa Desa Waiara mampu meningkatkan peran serta warganya. Namun fakta peningkatan peran serta warga ini begitu nyata dan tak bisa diingkari setelah desa-desa lain membuktikannya dengan turut menghadiri musyawarah desa yang diadakan Desa Waiara.
Tingginya peran serta warga ini juga tak terlepas dari pembangunan desa yang benar-benar dirasakan warga. Desa Waiara melaksanakan pembangunan dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar warga – termasuk di dalamnya adalah mengatasi kemiskinan.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk pemenuhan hak dasar warga, yaitu:
- Membangun infrastruktur jalan untuk membuka isolasi,
- Mengatasi persoalan kemiskinan dan
- Membentuk kelembagaan untuk penguatan peran perempuan dan kearifan lokal.
Dengan terbukanya akses jalan, warga dapat membawa hasil produksi mereka ke pasar dengan lebih mudah.
MENGATASI KEMISKINAN
Dalam mengatasi kemiskinan, Desa Waiara menempuh dua strategi. Pertama, mencegah resiko yang dihadapi warga akibat kemiskinannya, seperti rendahnya status kesehatan akibat kondisi rumah dan sanitasi yang tidak layak, rendahnya produktivitas, putus sekolah, dan lainnya. Untuk itu Desa Waiara membuat program prioritas bagi kelompok miskin dalam bentuk renovasi dan pembangunan rumah layak, pembangunan bak air dan pemasangan listrik.
Kini sebagian besar warga sudah dapat mengakses listrik. Kedua, peningkatan pendapatan melalui penguatan modal bagi kelompok-kelompok usaha bersama. Program ini pertama-tama diberikan pada kelompok-kelompok yang sudah ada, seperti kelompok tenun ikat, kelompok nelayan, kelompok ternak dan kelompok pedagang.
Program penguatan modal bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan kelompok. Untuk nelayan, misalnya, penguatan modal diberikan untuk pengadaan alat-alat produksi. Sementara untuk kelompok tenun, bantuan diberikan dalam bentuk peningkatan keterampilan, yaitu pencelupan, pengadaan benang dan obat pewarna.
Selain berdampak pada peningkatan pendapatan warga, bantuan penguatan modal usaha ini juga mendorong warga membentuk kelompok-kelompok usaha agar dapat berpartisipasi dalam memanfaatkan program pembangunan.
Selain itu, program penguatan modal kelompok ini juga berdampak pada peningkatan produktivitas dan perluasan pemasaran produk-produk warga. Seperti yang terjadi pada kelompok nelayan, peningkatan produktivitas terjadi tidak hanya dalam hal penangkapan ikan tetapi juga pada berkembangnya kegiatan produksi di luar penangkapan ikan, seperti produksi kerajinan rumah tangga berbasis pemanfaatan daur ulang sampah.
Berbagai produk kerajinan yang dihasilkan kelompok nelayan di Desa Waiara sudah dikenal di kalangan wisatawan yang mengunjungi pantai-pantai di sekitar Desa Waiara.
PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DAN KEARIFAN LOKAL
Dalam melaksanakan pembangunan, Desa Waiara tidak hanya terfokus pada pembangunan ekonomi, tetapi juga pengembangan budaya, termasuk di dalamnya adalah memperkuat peran perempuan dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Ini dilakukan dengan membentuk kelembagaan tingkat desa, yaitu Layanan Berbasis Komunitas (LBK), Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) dan Lembaga Adat.
LBK dimaksudkan untuk mengatasi persoalan terkait kekerasan terhadap perempuan – termasuk trafiking. KPAD dimaksudkan untuk mengatasi persoalan perlindungan anak, sementara lembaga adat dimaksudkan untuk menyelesaikan secara adat berbagai konflik yang terjadi di desa atau antar desa. Dalam hal ini desa mengalokasikan anggaran untuk ketiga lembaga tersebut dan memberikan pelatihan bagi peningkatan kapasitas para pengurus lembaga.
Ketiga lembaga tersebut bekerja secara sinergis dalam mengatasi berbagai persoalan menyangkut perempuan, anak dan adat. Berbagai diskusi dan penyuluhan dilancarkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, perlindungan anak dan penyelesaian konflik secara adat.
Dampak dari adanya ketiga lembaga tersebut salah satunya adalah berkurangnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatnya peran warga (khususnya perempuan) dalam mencegah dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu kasus-kasus konflik yang terjadi di desa atau antar desa dapat dilokalisir dan diselesaikan secara adat di tingkat desa.
Dampak lainnya, kelembagaan adat di tingkat desa secara langsung atau tidak langsung memperkuat pengembangan kearifan lokal. Meningkatnya peran warga dalam pembangunan desa mendorong pemerintah desa semakin transparan dalam mengelola dana yang masuk ke desa. Pihak desa mengaku, di tahun-tahun sebelumnya dana yang masuk ke desa masih dikelola secara tertutup.
Sejak dua tahun terakhir pengelolaan dana yang masuk ke desa dilaporkan secara transparan melalui dokumen tertulis yang dibagikan kepada semua kelompok kepentingan, di antaranya adalah tokoh masyarakat, RT/RW, dusun, kelompok-kelompok masyarakat, posyandu, lembaga pendidikan, LBK, KPAD, lembaga adat dan lainnya.
Transparansi ini bukan hanya memudahkan BPD dalam menjalankan fungsi kontrol tetapi sekaligus juga meningkatkan kualitas peran serta masyarakat dalam seluruh proses pembangunan. Selain meningkatkan transparansi, pencegahan penyelewengan terhadap dana desa juga ditempuh dengan membentuk Tim Pengelola Kegiatan. Tim ini bertugas mengelola kegiatan yang dananya bersumber dari dana desa.
Kerja tim ini didukung oleh kontrol dari BPD. Dengan cara tersebut Desa Waiara terhindar dari resiko korupsi dan penyelewengan dana desa. Meski sudah melakukan berbagai strategi untuk menjalankan apa yang dimandatkan dalam Undang-Undang Desa, namun pihak pemerintah dan BPD Desa Waiara mengaku masih menghadapi kendala dalam melaksanakan undang-undang desa.
Kendala tersebut, diantaranya adalah pertama, pihak desa dan BPD masih merasa belum sepenuhnya memahami undang-undang desa. Sebab antara teori yang diajarkan dalam pelatihan dengan kenyataan yang mereka dihadapi di lapangan sering tidak cocok. Kedua, berubah-ubahnya aturan/ketentuan terkait pelaksanaan UU Desa secara administratif menyulitkan mereka dalam pengelolaan dana desa.
Ketiga, kendala dana dan waktu dalam penyerahan dokumen RKP Desa yang harus final pada bulan Juni-Juli. Keempat, pihak desa dan BPD belum sepenuhnya paham mengenai BUMDES dan pembentukannya. Meski demikian mereka sudah mulai mengawali pembentukan BUMDES dengan membentuk kepengurusan.
Mereka berharap pemerintah tidak terus menerus mengubah-ubah aturan karena keterbatasan kemampuan desa dalam memahami aturan yang berubah-ubah. Mereka juga berharap, ada panduan yang jelas terkait pembentukan dan pengelolaan BUMDES.
Selain itu mereka juga berharap, pihak kabupaten transparan dalam menyampaikan aturan/ketentuan dan dalam hal dana untuk desa. ***