Kepala Desa Teladan Penjaga Pusaka dan Masa Depan

Raden Syamsuddin, yang lebih senang dipanggil Pak Elek, hidup menetap di Dusun Tambak Kayong, Desa Nanga Tayap, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Pak Elek dipercaya untuk menjadi kepala Desa Nanga Tayap selama enam tahun sejak 2004, setelah menjabat sebagai sekretaris desa tersebut selama delapan tahun.

Tiga tahun menjabat sebagai kepala desa, Pak Elek dianugerahi penghargaan kepala desa teladan di Kalimantan Barat. Uniknya, ia sendiri tidak tahu apa kriteria kepala desa teladan. Namun apapun kriterianya, Pak Elek memang layak disebut kepala desa teladan. Pemikiran dan tindakannya membuatnya pantas menyandang gelar “teladan”.

Yang pertama adalah terkait dengan cara pandangnya terhadap kekuasaan/jabatan, khususnya jabatan kepala desa. Pak Elek melihat jabatan kepala desa sebagai jabatan pelayanan/pengabdian untuk kepentingan masyarakat. Karenanya yang pertama-tama ia lihat dari jabatan kepala desa bukanlah besaran insentif atau honornya tetapi peluang untuk melayani dan melakukan peningkatan hidup bagi warganya.

Sebagai kepala desa, ia memberikan pelayanan pada warganya tak sebatas jam kerja. Warganya bisa menemuinya kapan saja, entah di rumah, di kebun karetnya, bahkan di jalan. Ia juga tak mengenal jam kerja. Kemanapun ia pergi, pena, kertas kop, tinta dan stempel kepala desa selalu ada bersamanya. Dengan itu, kapan saja warga membutuhkan surat atau tanda tangannya atau membutuhkan bantuannya, ia siap melayani mereka.

Di saat banyak orang di daerahnya berlomba masuk partai, ia menolak untuk terlibat dalam “politik” partai. Ia menyaksikan, politik partai itu bukan politik untuk kepentingan masyarakat, melainkan politik untuk cari untung. Mereka masuk partai untuk dapatkan kuasa dan dengan kuasa itulah mereka cari untung. Meski bukan anggota partai, Pak Elek selalu diundang dalam hajatan partai. Ia pun diundang perusahaan dalam pertemuan-pertemuan kemitraan, meskipun ia tak terlibat dalam kemitraan dengan perusahaan. Ia memilih untuk kerja di kebun dan menoreh karet daripada menghadiri acara partai ataupun acara perusahaan.

Yang kedua adalah sikap anti korupsinya. Sikap ini tak terlepas dari cara pandang Pak Elek terhadap kekuasaan/jabatan. Selama menjabat kepala desa, ia menolak untuk meminta atau menerima duit dari perusahaan. Baginya, kepala desa adalah pelayan rakyat. Sebagai pelayan rakyat, meminta/menerima duit dari perusahaan itu perilaku yang sungguh memalukan.

Ia dan kelompok taninya punya pengalaman jadi korban korupsi/penyelewengan yang terjadi di daerahnya. Dulu pernah kelompok taninya mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat sebesar Rp 100 juta. Namun sesampai di daerah, bantuan dari pemerintah pusat itu dibelokkan ke kelompok tani lain.

Pengalaman ini mendorongnya untuk membuatkan akta notaris bagi kelompok tani yang dibentuknya. Menurutnya, dengan adanya akta notaris identitas kelompok tani menjadi semakin jelas dan mencegah adanya manipulasi. Selain itu, adanya akta notaris memudahkan kelompok tani berurusan dengan pemerintah, terkait proyek-proyek pertanian dan kehutanan.

Yang ketiga, tekad kuatnya menjaga pusaka dan masa depan. Pusaka dalam bahasa setempat adalah warisan leluhur yang diberikan secara turun temurun. Ketika menjabat kepala desa di tengah derasnya arus investasi, Pak Elek menghadapi tantangan yang tidak mudah. Perusahaan sawit mulai masuk ke desanya. Dua perusahaan (PT Agro Lestari Mandiri dan PT SISM) masuk tahun 2005.

Pada saat itu ada empat dusun yang masuk area Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Pada tahun 2011 masuk lagi perusahaan sawit PT BGA. Semuanya menebar janji kesejahteraan pada warga dengan harapan warga bersedia menyerahkan tanahnya. Pada saat itu secara pribadi Pak Elek menolak menyerahkan lahan pada perusahaan. Ia juga memberikan arahan pada warga tentang resiko bila tanah diserahkan pada perusahaan.

Namun sebagai kepala desa ia menyerahkan putusan pada warganya karena warga punya hak atas tanahnya. Akhirnya dari sembilan dusun yang ada, tinggal satu dusun saja yang warganya menolak menyerahkan lahan pada perusahaan sawit dan bertekad untuk mempertahankan tanah warisan leluhur.

Dusun itu adalah Dusun Tambak Kayong, di mana Pak Elek tinggal. Warga di dusun ini punya pikiran dan tekad yang sama dengan Pak Elek. Kalau tanah diserahkan ke perusahaan bagaimana warga mau bertani dan berkebun? Dengan menyerahkan lahan mereka mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 4-6 juta per hektar. Mereka juga punya kesempatan untuk bekerja di perusahaan. Tapi bagaimana kalau sudah umur dan tanah tak ada lagi, mau hidup darimana?

Belakangan terbukti, keputusan Pak Elek dan warga Dusun Tambak Kayong untuk tidak menyerahkan lahan ke perusahaan sangatlah tepat. Warga yang menjual lahannya pada perusahaan kini hidup dalam kesulitan dan penyesalan. Betapa tidak. Mereka yang tergiur dengan janji-janji perusahaan kini mendapati kenyataan bahwa hasil dari sawit sangatlah sedikit. Mereka harus menunggu paling cepat enam tahun baru menerima hasil dari kebun kemitraan yang dikelola perusahaan. Hasilnya pun sangat tidak sepadan dengan luasan lahan yang diserahkan.

Dari kebun kemitraan mereka menerima hasil hanya Rp 300 ribu per bulan dan itupun tidak setiap bulan diterima. Bahkan tidak sedikit warga yang sudah menyerahkan lahan namun sampai sekarang belum juga menerima hasil. Mereka cuma bisa bersandar hidup dari upah sebagai buruh di perkebunan sawit. Padahal warga menyerahkan lahan ke perusahaan sampai puluhan hingga ratusan hektar.

Kini dengan harga sawit yang jatuh bangun, harga kebutuhan pokok yang condong melambung, tarif listrik yang tiba-tiba menggunung, warga merasakan kesulitan karena uang hasil jual lahan sudah habis, tak ada lagi lahan untuk bertani/berkebun dan hasil kemitraan yang sangat kecil (jauh dari yang dijanjikan perusahaan) atau bahkan sama sekali tak mendapatkan kemitraan meski sudah menyerahkan lahan. Di saat yang sama mereka juga menghadapi ancaman PHK. Sudah banyak warga yang terkena PHK dengan alasan umur yang sudah tak sesuai dengan persyaratan.

Apa yang dikhawatirkan Pak Elek benar-benar terjadi. Dengan menyerahkan lahan ke perusahaan, warga kian terjepit dan menghadapi berbagai kesulitan. Keterjepitan itu membuat warga nekat melakukan berbagai aksi protes pada pihak perusahaan dalam berbagai bentuknya. Ada yang demo ke perusahaan, menutup portal pintu masuk ke perkebunan, merusak fasilitas perusahaan dan juga mencuri buah sawit karena perusahaan belum menyelesaikan pembayaran ganti rugi atas tanah yang sudah diserahkan.

Akibat berbagai aksi protes tersebut warga dikriminalkan dan dijebloskan ke penjara. Sedikitnya enam warga yang sudah masuk penjara karena aksi protes tersebut.

Hal sebaliknya dialami Pak Elek bersama warga dusun Tambak Kayong yang bertekad mempertahankan warisan leluhur demi masa depan anak cucu. Mereka bisa hidup lebih tenang dengan terus berupaya mengelola sendiri agar tetap memberi hasil. Mereka tetap menoreh karet meskipun harga karet jatuh. Harga karet memang berada pada posisi terendah sekarang.

Pak Elek menyadap karet di kebun.

Meski demikian, Pak Elek mengaku bahwa penghasilan yang ia terima dari karet masih jauh lebih besar dari hasil yang diterima warga dari kebun kemitraan sawit. Mereka juga tak kesulitan dalam mendapatkan pangan karena beras masih mereka produksi sendiri. Selain berkebun karet dan bertanam padi, Pak Elek juga memelihara berbagai jenis ikan di kolam yang ia buat di area kebun karet. Selain itu, ia juga bertanam sayuran, buah-buahan, jengkol, kayu dan tanaman-tanaman lain yang punya nilai ekonomi. Dengan cara itu, sumber penghidupan keluarganya tidak bergantung pada satu hasil saja tetapi ditopang oleh banyak sumber.

Kolam ikan milik Pak Elek di areal kebun karet.

Apa yang dihadapi warga di luar dusun Tambak Kayong yang menyerahkan lahannya pada perusahaan itu sungguh ironis. Bayangkan, warga menyerahkan lahan seluas puluhan dan bahkan ratusan hektar dengan harapan mendapatkan kehidupan lebih baik sesuai dengan yang dijanjikan perusahaan.

Namun faktanya, mereka hidup dalam kesulitan. Janji perusahaan tak terbukti dan tak ada sumber penghidupan lain karena lahan sudah diserahkan semua pada perusahaan. Sementara Pak Elek yang memiliki lahan hanya seluas 12,6 hektar bisa hidup tenang dan berkecukupan. Dari semua lahan yang dimilikinya, ada 2,6 hektar yang lokasinya di tengah perkebunan sawit milik perusahaan. Perusahaan terus mendesaknya untuk melepas lahannya, namun pek Elek bersikukuh mempertahankannya.

Keempat, Pak Elek memikirkan kelangsungan hidup generasi mendatang bukan hanya dengan mempertahankan warisan leluhur tetapi juga menjaga keberlangsungan daya dukung lingkungan. Ketika bertani dengan sistem ladang bergilir dan membakar mulai dipersoalkan, Pak Elek mencari solusi dengan mencetak sawah. Dengan itu ia menghentikan praktik ladang bergilir yang dilakukan dengan membakar. Sawah dia buat di tahun 2004 bersama seluruh anggota kelompok tani yang ia bentuk. Pencetakan sawah dilakukan dengan menggunakan mesin bantuan pemerintah.

Selain menghentikan praktik ladang bergilir dengan membakar, Pak Elek bersama para anggota kelompok tani juga terlibat dalam kegiatan konservasi dengan bertanam tanaman hutan di hutan lindung. Penanaman ini dilakukan atas kerjasama kelompok tani hutan dengan dinas kehutanan setempat. Dulu ada banyak kelompok tani hutan, namun kini tinggal satu kelompok saja yang masih bertahan, yaitu kelompok tani hutan bentukan Pak Elek.

Sejak 2000 hingga 2015, Pak Elek mengaku, ia dan kelompoknya sudah melakukan konservasi hutan lindung seluas 400 hektar. Mereka bukan hanya bertanam kayu, tetapi juga buah dan karet. Hasil buah dan karetnya boleh diambil petani, sementara kayunya untuk konservasi. Selain bisa memanfaatkan hasil kayu dan buah yang mereka tanam, saat tanam kayu petani juga mendapatkan insentif sebesar Rp 1.200.000 per orang per hektar.

Pak Elek mengaku, mempertahankan daya dukung lingkungan itu adalah keniscayaan. Ia memberikan contoh tentang apa yang terjadi bila lingkungan dirusak. Soal air, misalnya, yang bagi warga setempat tak bisa dilepaskan dari keberadaan sungai. Sudah lama sungai-sungai di daerahnya tercemar oleh limbah tambang emas, limbah perusahaan sawit dan lainnya. Sungai tak lagi bisa digunakan sebagai sumber air bersih.

Warga yang mandi di sungai terkena penyakit gatal. Karenanya sudah 30 tahun Pak Elek tak pernah lagi mandi di sungai. Ia mengandalkan air sumur. Ia juga menampung air dari mata air yang ada di bukit dan mengalirkannya lewat selang untuk keperluan kolam ikan dan juga sebagai sumber air bersih. Warga yang kekurangan air bersih bisa memanfaatkan air yang ia tampung dari mata air.

Selain berdampak pada air, Pak Elek juga melihat, ekspansi perkebunan sawit oleh perusahaan sawit juga berdampak pada pertanian. Dulu sebelum banyak sawit, tak ada hama yang menyerang lahan pertanian mereka. Kini sawah mereka rentan diserang hama belalang dan tikus. Bahkan di tahun 2016 mereka sama sekali tidak panen karena padi habis diserang hama tikus.

Memperhatikan nasib dan kesulitan banyak warga di desanya, Pak Elek bertekad pada tahun 2017 untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa. Tujuannya satu, yaitu mengoptimalkan dana desa untuk memperbaiki kehidupan warganya dengan mengembangkan sumber-sumber penghidupan bagi warga, termasuk nelayan.