Privatisasi Transmigrasi dan Kemitraan Plasma Menopang Industri Sawit

Resiko Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan Transmigrasi dan Kemitraan Plasma di Sektor Industri Perkebunan Sawit

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan yang terus menjadi perdebatan publik yaitu benarkah menanam sawit itu menguntungkan. Kalau benar menguntungkan, apa saja prasyarat yang harus dipenuhi. Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat membantu para petani sawit mandiri, mereka yang sedang mempertimbangkan mau berkebun sawit, para pengambil kebijakan dalam industri sawit.

MENGAPA HASIL PENELITIAN INI PENTING UNTUK ANDA SIMAK?

Industri perkebunan sawit merupakan sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Komoditi sawit merupakan komoditi unggulan yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Industri perkebunan sawit tumbuh dan berkembang nyaris tanpa pengendalian.

Ekspansi industri perkebunan sawit menjadi seperti pedang bermata dua bagi masyarakat. Di satu sisi, industri ini berhasil meningkatkan ekonomi warga dan masyarakat serta menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah. Di sisi lain, peningkatan ekonomi dan terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru tersebut sangatlah rapuh dan tak terjamin keberlanjutannya dalam jangka panjang karena mengabaikan daya dukung lingkungan dan hak asasi manusia.

Ekspansi industri sawit ditopang oleh program transmigrasi dan kemitraan plasma. Program transmigrasi yang menopang pengembangan industri perkebunan sawit dalam pelaksanaannya condong menjauhkan transmigrasi dan tujuannya, yaitu pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan baik masyarakat lokal maupun masyarakat transmigran.

Sementara kemitraan plasma antara perusahaan sawit dan masyarakat dijalankan dalam kerangka kebijakan yang terus berubah kian berpihak pada kepentingan perusahaan dan abai terhadap perlindungan atas hak-hak warga.

TUJUAN

Studi ini dimaksudkan untuk menyingkap beberapa pokok berikut ini.

  1. Pelaksanaan berbagai pola kemitraan plasma antara perusahaan dan masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat,
  2. Pelaksanaan program transmigrasi dalam kaitannya dengan ekspansi industri perkebunan sawit melalui berbagai pola kemitraan plasma,
  3. Dampak ekspansi industri perkebunan sawit dan skema kemitraan plasma terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat,
  4. Respons pemerintah dan masyarakat atas program transmigrasi dan ekspansi industri perkebunan sawit melalui berbagai skema kemitraan.

METODOLOGI

Lokasi studi dipilih secara sengaja, yaitu provinsi Bengkulu, provinsi Riau, provinsi Sulawesi Tengah dan provinsi Kalimantan Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor, yaitu:

  1. Ada tidaknya kawasan transmigrasi yang berada di sekitar area perkebunan sawit,
  2. Ada tidaknya kawasan transmigrasi yang terintegrasi dengan industri perkebunan sawit atau menjalankan kemitraan dengan perkebunan sawit,
  3. Keluasan area perkebunan sawit,
  4. Intensitas konflik tenurial,
  5. Tingginya investasi di sektor perkebunan sawit,
  6. Adanya inisiatif para pelaku usaha perkebunan, pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait pengembangan industri perkebunan sawit dan transmigrasi,
  7. Persoalan di daerah tersebut belum banyak diangkat secara publik.

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN

Industri perkebunan sawit merupakan sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Komoditi sawit merupakan komoditi unggulan yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Industri perkebunan sawit tumbuh dan berkembang nyaris tanpa pengendalian dan tanpa mempertimbangkan dampak dan resikonya bagi kehidupan masyarakat dan bagi keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang.

Ekspansi industri sawit tak terlepas dari peran program transmigrasi dan kemitraan plasma antara perusahaan sawit dengan masyarakat baik masyarakat transmigran maupun masyarakat lokal.

Dengan latar belakang tersebut studi ini dimaksudkan untuk mengetahui:

  1. Pelaksanaan berbagai pola kemitraan plasma antara perusahaan dan masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat,
  2. Pelaksanaan program transmigrasi dalam kaitannya dengan ekspansi industri perkebunan sawit melalui berbagai pola kemitraan plasma,
  3. Dampak ekspansi industri perkebunan sawit dan skema kemitraan plasma terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat,
  4. Respons pemerintah dan masyarakat atas program transmigrasi dan ekspansi industri perkebunan sawit melalui berbagai skema kemitraan.

Studi dilakukan di 8 (delapan) kabupaten yang ada di 4 (empat) provinsi, yaitu Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.

Hasil studi menemukan berbagai pokok persoalan terkait ekspansi industri perkebunan sawit yang ditopang oleh program transmigrasi dan kemitraan plasma. Pertama, industri perkebunan sawit berkembang pesat dan mengubah lanskap lingkungan provinsi yang menjadi sentra pengembangan industri perkebunan sawit.

Di Sulawesi Tengah hampir separuh daratannya kini berubah menjadi perkebunan sawit. Di Bengkulu dalam tiga tahun terakhir luas area perkebunan sawit meningkat sebesar 21,28 persen. Di Kalimantan Barat luasan perkebunan sawit tumbuh 90,03 persen dalam waktu 10 tahun. Di Riau dalam rentang waktu 10 tahun, luasan perkebunan sawit meningkat sebesar 117,5 persen.

Kedua, ekspansi industri perkebunan sawit ditopang oleh program transmigrasi dan kemitraan plasma, di antaranya melalui penyediaan tenaga kerja, penyediaan bahan baku berupa buah sawit, penyediaan lahan, berkembangnya pedagang pengumpul atau tengkulak, pembangunan infrastruktur, tersedianya modal produksi oleh perbankan swasta dan pemerintah, rendahnya harga sawit yang diterima petani mandiri, resiko kegagalan yang sebagian dibebankan pada petani.

Ketiga, kebijakan transmigrasi yang diintegrasikan dan atau disandingkan dengan industri perkebunan sawit menjauhkan transmigrasi dari tujuannya, yaitu pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan —baik masyarakat lokal maupun masyarakat transmigran.

Yang terjadi, transmigrasi yang menopang industri perkebunan sawit menciptakan ketimpangan ekonomi dan polarisasi penguasaan lahan di daerah-daerah tujuan transmigrasi serta kerusakan sistem sosial budaya masyarakat—baik masyarakat transmigran maupun masyarakat lokal.

Keempat, kebijakan pemerintah terkait skema kemitraan antara perusahaan sawit dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini mengarah pada kondisi di mana kebijakan semakin berpihak pada kepentingan perusahaan dan semakin merugikan masyarakat. Ini bisa dinilai dari beberapa indikasi, di antaranya:

  • Dalam hal penyediaan lahan yang kian dibebankan pada masyarakat,
  • Dalam hal pengelolaan kebun plasma yang berpindah dari masyarakat ke perusahaan, di mana pengelolaan dilakukan secara tidak transparan,
  • Dalam hal pendanaan dan resiko kegagalan yang semakin tinggi dan dibebankan pada masyarakat,
  • Dalam hal pembagian hasil yang semakin mengecil dan menguntungkan pihak perusahaan,
  • Demakin besarnya resiko warga untuk kehilangan lahan.

Kelima, kebijakan dan praktik kemitraan plasma antara perusahaan dan masyarakat tidak layak disebut sebagai kemitraan karena tidak memenuhi prasyarat kesetaraan, keterbukaan dan keadilan. Yang terjadi, praktik kemitraan sarat dengan indikasi penyelewengan, di antaranya:

  • Tidak semua kemitraan dilaksanakan secara bebas atau tanpa paksaan,
  • Kapasitas dan posisi tawar masyarakat dalam menyusun perjanjian kemitraan sangat lemah dan miskin pendampingan oleh pemerintah,
  • Substansi perjanjian kemitraan cenderung menguntungkan perusahaan dan bahkan dalam banyak kasus kemitraan dijalankan tanpa disertai perjanjian tertulis,
  • Monopoli pembelian sawit oleh perusahaan tertentu yang kian melemahkan posisi tawar masyarakat,
  • Tidak ada mekanisme komplain dan jaminan perlindungan hak masyarakat,
  • Koperasi cenderung berpihak pada kepentingan perusahaan.

Keenam, ekspansi industri perkebunan sawit mendorong pertumbuhan kebun sawit oleh petani mandiri. Namun para petani mandiri ini menghadapi berbagai kesulitan, di antaranya adalah lemahnya akses pasar, akses permodalan, minimnya pengetahuan dan keterampilan, dan minimnya akses teknologi.

Ketujuh, ekspansi industri perkebunan sawit seperti pedang bermata dua bagi masyarakat. Di satu sisi, industri perkebunan sawit berhasil meningkatkan ekonomi warga dan masyarakat serta menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah.

Di sisi lain, peningkatan ekonomi dan terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru tersebut sangatlah rapuh dan tak terjamin keberlanjutannya karena peningkatan ekonomi ini disertai dengan kerentanan terhadap bencana, kerentanan akan perubahan harga komoditi di tingkat global, kemerosotan kualitas lingkungan dan kerusakan sistem ekonomi, sosial budaya dalam berbagai bentuknya, seperti meluasnya ekonomi monokultur, meluasnya budaya utang, komodifikasi lahan ‘lapar lahan’ ketimpangan penguasaan lahan, percepatan alih fungsi lahan pangan dan hutan secara massif menjadi kebun sawit, meningkatnya konflik agraria, konflik sosial dan kriminalitas.

Kedelapan, ekspansi industri perkebunan sawit yang cenderung tak terkendali menimbulkan berbagai dampak dan meningkatkan resiko pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini tidak pernah masuk dalam perhitungan ekonomi dan karenanya cenderung diabaikan.

Resiko pelanggaran hak asasi manusia ini diantaranya adalah:

  • Pelanggaran hak atas informasi,
  • Pelanggaran hak untuk tidak didiskriminasi dan untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum,
  • Hak perlindungan atas rasa aman,
  • Hak atas penghidupan yang layak dan hak atas pangan
  • Hak atas pekerjaan,
  • Hak atas lingkungan, air dan kesehatan.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, diajukan beberapa rekomendasi yang ditujukan pada pengambil kebijakan. Pertama, terkait transmigrasi, apabila program transmigrasi tetap dilanjutkan, maka setidaknya pemerintah mengambil tiga langkah berikut, yaitu:

  1. Menyelesaikan berbagai persoalan yang masih tersisa di daerah-daerah eks-transmigrasi,
  2. Program transmigrasi difokuskan di daerah perbatasan dan daerah tertinggal dengan tujuan penataan kawasan yang melibatkan masyarakat setempat tanpa mendatangkan warga dari luar kawasan,
  3. Program transmigrasi dijalankan untuk mendukung agenda reforma agraria yang ditujukan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan lahan oleh perusahaan besar. Program transmigrasi difokuskan di lahan-lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah habis masa berlaku, lahan HGU yang ditelantarkan atau yang belum digunakan. Pelaksanaan program transmigrasi lebih difokuskan pada skema transmigrasi umum untuk pengembangan pangan lokal.

Kedua, terkait kemitraan setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk membenahi sistem kemitraan antara perusahaan sawit dan masyarakat, yaitu:

  1. Audit terkait kewajiban perusahaan untuk membangun kebun masyarakat seluas 20 persen dari HGU yang sudah diusahakan dan audit terkait pelaksanaan kemitraan,
  2. Review kebijakan terkait persoalan perizinan, batas ekspansi luasan perkebunan sawit terkait tata ruang, kewilayahan perkebunan sawit terkait pulau-pulau, orientasi atau arah pengembangan industri sawit di sektor hulu dan hilir, peran perkebunan sawit rakyat, kebijakan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat, industri sawit dan ketimpangan penguasaan lahan, industri sawit dan perlindungan lahan pangan,
  3. Membuat mekanisme pengaduan atau komplain dan perlindungan masyarakat dalam pelaksanaan kemitraan agar masyarakat mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka dalam pelaksanaan kemitraan.

Ketiga, terkait petani sawit (terutama petani mandiri), pemerintah memberikan perhatian lebih pada petani mandiri mengingat luasan kebun sawit petani mandiri sangat signifikan bagi pengembangan industri perkebunan sawit. Perhatian pada petani mandiri diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan mereka melalui berbagai program, di antaranya adalah:

  1. Perlindungan lahan petani dari pengambilalihan pihak korporasi atau pihak lain;
  2. Pendidikan, pelatihan, bantuan modal dan teknologi serta asuransi pertanian untuk keperluaan peremajaan kebun sawit,
  3. Fasilitasi koperasi petani membangun pabrik guna memperluas akses pasar bagi petani mandiri;
  4. Integrasi sawit, tanaman pangan dan ternak untuk memperkecil resiko ekonomi monokultur yang hanya bergantung pada hasil sawit,
  5. Pembenahan, penguatan dan pengembangan koperasi sebagai sarana pengembangan organisasi dan ekonomi petani sawit.

Keempat, terkait pengembangan industri sawit, pemerintah mengendalikan ekspansi industri perkebunan sawit dengan menekankan pada program intensifikasi dan peningkatan produktivitas di sektor hulu serta pengembangan sektor hilir yang masih belum banyak disentuh. Upaya pengendalian tersebut dapat dijalankan melalui berbagai pendekatan, di antaranya:

  1. Mempertegas pelaksanaan moratorium pemberian izin baru bagi perusahaan sawit,
  2. Memisahkan pendataan antara perkebunan dan tanaman pangan dalam data BPS di sektor pertanian, agar data terkait persoalan pangan tidak terabaikan,
  3. Penegasan pembatasan penguasaan lahan oleh perusahaan sawit,
  4. Mengarahkan perusahaan sawit untuk fokus pada pengembangan industri hilir (pengolahan CPO menjadi produk turunan) untuk meningkatkan nilai tambah, sementara petani dan koperasi didorong untuk fokus pada pengembanganindustri hulu,
  5. Memberikan perhatian serius pada petani-petani non-sawit, seperti tanaman pangan dan tanaman perkebunan non-sawit (karet, kakao, kopi, cengkeh, dll) yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan perkebunan sawit. Langkah ini diperlukan untuk mengurangi resiko ekonomi monokultur yang condong hanya bertumpu pada satu komoditi. ***