Faisal Basri: UU Cipta Kerja Mengabdi, Menghamba kepada Para Oligarki

Faisal Basri. (Suara.com)

UU Cipta Kerja (UUCK) bukan dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi justru dirancang dan disahkan untuk melayani kepentingan para oligarki di Indonesia.

Tahukah Anda siapa mereka itu?

Mereka adalah orang-orang kaya bermodal, para investor hitam yang berkolusi dengan aktor-aktor negara. Usaha mikro dijadikan tumbalnya.

Itulah kiranya kalimat kunci yang dapat kita tarik dari presentasi ekonom senior Faisal Basri ketika kami undang untuk memaparkan pandangannya tentang status dari UUCK dan apa dampak buruknya untuk masyarakat luas pada salah satu kegiatan diskusi publik berseri secara virtual pada 21/12/2021.

Sebagaimana kita ketahui bahwa UUCK bagaimanapun statusnya sekarang ini adalah diberlakukan untuk selanjutnya, terutama dengan adanya pengesahan Perppu dan pendapat MK yang menepis sangat pentingnya partisipasi dalam penyusunan UU.

Padahal faktanya banyak sekali pasal UUCK yang sangat potensial merugikan masyarakat luas, bahkan termasuk koperasi dan UMKM yang mendapatkan perhatian di dalam UUCK tersebut.

Karenanya, kita tetap perlu dan harus menyadari kesesatan yang melatarbelakangi UUCK itu, sehingga kami pandang perlu menghadirkan dan memaparkan lagi di sini argumen dan pokok-pokok penting yang perlu kita sadari dan pahami mengapa UUCK itu harus terus kita pertanyakan dasar-dasarnya dan kita tentang pemberlakuannya.

UUCK catat sejak lahir. Sekalipun nama dari undang-undang yang kita bahas ini adalah “Cipta Kerja”, tetapi Faisal menggarisbawahi bahwa tujuan dari disahkannya UU Cipta Kerja jelas-jelas bukanlah untuk menciptakan lapangan kerja. “Semangat pembentukannya ngaco,” kata dia.

UU ini menurut Faisal sudah cacat sejak lahirnya. Cacat itu mengacu pada fakta keadaan ekonomi Indonesia dalam hal pertumbuhan yang tercatat terus-menerus melambat. Selama enam tahun periode 2014-2019 angka pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dilaporkan oleh BPS, flat 5 persen.

Paska-pandemi sampai 2024 rata-rata 4,5 persen. Lihat Data proyeksi pertumbuhan ekonomi dari BPS.

Hal ini sangat kontras dengan target Jokowi untuk pertumbuhan ekonomi 7 persen, padahal presiden Jokowi sibuk membangun di mana-mana dengan modal utang.
Mengapa sampai terjadi angka pertumbuhan ekonomi rendah, terutama pada tahun-tahun sebelum merebaknya pandemi?

Pandemi dapat menjadi dalih diberlakukannya UUCK, maka sorotan kondisi ekonomi dalam hal ini perlu diarahkan pada periode pemerintah Jokowi sebelum pandemi.
Para pembantu presiden menganalisis mengapa pertumbuhan ekonomi terus melambat dan sejak awal pemerintahan kedua Jokowi tidak segera bisa naik –sebelum pandemi– karena tidak cukup banyak masuknya investasi ke dalam negeri.

Para investor dikatakan tidak berani menanamkan modal di Indonesia karena takut ditangkap oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Maka kemudian KPK dilemahkan terlebih dahulu dengan cara merevisi UU KPK pada 2019.

Pada kenyataannya, yang diperlukan oleh presiden Jokowi sebenarnya adalah UU Kemudahan Investasi yang tujuan utamanya adalah meningkatkan investasi, tapi agar masyarakat tidak protes judul yang diberikan adalah ‘UU Cipta Kerja’.

Oleh karenanya, masuk akal mengapa UUCK ini tidak mengabdi kepada kelestarian lingkungan, kesejahteraan buruh, dan kepentingan rakyat, tetapi mengabdi kepada para oligarki, agar mereka lebih mudah menguras kekayaan Indonesia sedalam mungkin, seluas mungkin, sebanyak mungkin, dan semudah mungkin.

KEMUDAHAN PERIZINAN TIDAK RELEVAN UNTUK USAHA MIKRO

Memang ada pasal-pasal yang seolah-olah membela kepentingan UMKM dan mengacu pada rekayasa kemudahan mendapatkan perizinan. Padahal kenyataannya untuk usaha mikro/kecil dalam praktiknya tidak ada urusannya, sangkut pautnya, relevansinya dengan perizinan. Sebagian besar usaha mikro tidak memiliki izin apa pun.

Sementara itu, berdasarkan data publik komparatif, Faisal menyatakan bahwa volume dan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia tercatat relatif tinggi sekali dibandingkan dengan semua negara di ASEAN dan India (meskipun lebih rendah daripada Tiongkok).

“Tidak benar jika dikatakan investasi jeblok,” kata Faisal, sambil menambahkan bahwa selama pemerintah Jokowi, investasi yang masuk ke Indonesia justru tercatat sebagai yang paling tinggi dalam sejarah selama ini. Lihat Grafik investasi s.d. 2018.

Jika UUCK disahkan untuk meningkatkan investasi, hal itu sebenarnya “salah diagnosis”. “Itu bagaikan gatal di kaki, tapi yang digaruk kepala,” katanya lagi.

Dengan kata lain, Faisal memastikan bahwa UUCK ini sesungguhnya dirancang dan disahkan “untuk mengabdi, menghamba kepada para oligarki.”

INVESTASI BESAR, HASIL KECIL

Kemudian, muncul pertanyaan berikutnya: Mengapa investasinya besar/tinggi tetapi hasilnya dalam bentuk pertumbuhan ekonomi ternyata sedikit/rendah?

Faisal mengacu pada data dari BPS tentang Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan pertumbuhan produk domestik kotor yang bersumber dari Kemenkeu 2020, yang memperlihatkan bahwa berbagai proyek yang dijalankan ternyata sangat condong mengeluarkan biaya tinggi, alias boros.

Data tersebut untuk segmen 2018 memperlihatkan Indonesia adalah negara yang paling boros dalam pembiayaan publik dibandingkan dengan semua negara ASEAN.

PEMBOROSAN = KORUPSI, PEMBOCORAN

“Praktik pembiayaan boros itu mengisyaratkan telah terjadi. Banyak korupsi, kebocoran, main tunjuk langsung, tidak adanya persaingan yang adil, mark-up, dan sebagainya.” Ibaratnya, kata Faisal lagi, “Orang makan banyak sekali, tapi tetap saja kurus karena di dalam perutnya terdapat banyak cacing.”

Karenanya, yang diperlukan Indonesia sekarang ini sesungguhnya adalah suatu undang-undang yang mampu menangani masalah adanya banyak cacing itu, kata Faisal, bukan UU Cipta Kerja yang justru “memperbanyak jumlah cacing”, dengan cara memotong hak-hak para pekerja, mengambil alih peran pemerintah daerah, meniadakan sanksi untuk para pelanggar pelestarian lingkungan, dan seterusnya.

KEMISKINAN DITENGAH 143 JUTA WARGA NEGARA YANG TIDAK AMAN SECARA EKONOMI

Angka kemiskinan sebagaimana tampak dari data BPS memang tercatat menurun meskipun terjadi perlambatan semakin berkurangnya jumlah warga miskin, di samping terjadi kenaikan jumlah kemiskinan karena pandemi. Lihat Grafik BPS tentang kemiskinan 2021)

Pada 2021 BPS mencatat sejumlah 27,54 juta orang tergolong miskin. Tetapi sejumlah lebih separuh penduduk Indonesia (143 juta orang, 52,3%) masih sangat rentan dan merasa “tidak aman” secara ekonomi (insecure) dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Mereka ini terbagi dalam tiga jenis, yaitu kelompok miskin absolut, miskin, nyaris-miskin, dan rentan-miskin. Lihat Grafik data Bank Dunia tentang jumlah warga negara yang ‘tidak aman’ secara ekonomi.

Bandingkan dengan jumlah warga negara ‘tidak aman’ secara ekonomi di Filipina 46,9 persen; Vietnam 22,4 persen; Thailand sejumlah 6,2 persen; Malaysia 2,9 persen. Perlu catatan samping bahwa India 87,4 persen dan Nigeria 92 persen kondisi lebih buruk daripada Indonesia.

STRUKTUR PIRAMIDAL SIAPA SAJA YANG MENIKMATI PEMBANGUNAN

Faisal juga menyoroti ketimpangan yang sangat tajam terkait dengan siapa yang dapat menikmati hasil pembangunan selama ini. Faisal menunjuk pada data yang dilansir oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2021.

Terungkap bahwa jumlah para penabung yang memiliki nilai tabungan di bawah Rp100 Juta terdapat sejumlah 98,4 persen namun jumlah nominal dari tabungan itu serendah sampai 13 persen.

Sebaliknya, jumlah para penabung yang memiliki nilai tabungan diatas Rp 5 Miliar terdapat sejumlah 0,00…persen namun jumlah nominal dari tabungannya setinggi sampai 50,9 persen dari keseluruhan uang masyarakat yang ada di dalam semua bank yang ada (Lihat Komposisi Tabungan, LPS 2021).

SENJANG BELANJA DAERAH DAN PEMERINTAH PUSAT

Secara khusus Faisal juga menyoroti kebijakan re-sentralisasi yang semakin diteguhkan oleh UUCK telah melucuti kewenangan-kewenangan pemerintah daerah. Hal ini ternyata juga tergambar di dalam data pembelanjaan keuangan negara yang didominasi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Senjang tampak sangat melebar jika dibandingkan antara belanja pemerintah pusat dan transfer dana ke daerah dan dana desa. Data grafis dari Kementerian Keuangan memperlihatkan pelebaran senjang dari tahun ke tahun sejak 2016 s.d. 2022.

“Daerah nyaris tidak dapat berbuat apa-apa karena uangnya semua diatur oleh pusat,” kata Faisal.

Sementara belanja pemerintah pusat sendiri didominasi oleh pengeluaran untuk membayar bunga utang (180 persen), dan bukan untuk belanja kepentingan sosial (64 persen). Urutan besarnya pengeluaran negara di tingkat pusat kemudian dipergunakan untuk belanja barang (105 persen), gaji pegawai (73 persen), belanja modal (68 persen, seperti untuk infrastruktur).

ACUAN