“Ini buku yang pertama kalinya diterbitkan untuk melawan UU Cipta Kerja” – Bivitri Susanti (Kompas.id)
Dalam peluncuran buku yang kami terbitkan pada Maret 2023 berjudul “Memahami & Melawan UU Cipta Kerja, Sebuah Modul untuk Rakyat”, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, menyoroti bahwa adanya dua keistimewaan buku ini untuk kepentingan masyarakat luas.
Pertama, buku ini merupakan upaya yang pertama kali muncul di tingkat publik untuk membuat gerakan melawan UU Cipta Kerja (UUCK) dalam bentuk buku, yang isinya telah didiskusikan bersama dengan masyarakat. Ini melengkapi apa selama ini sudah banyak dibuat dalam bentuk video klip.
Buku panduan ini juga disusun tidak hanya berdasarkan pada studi dokumen, tapi dilengkapi dengan diskusi publik bersama dengan masyarakat yang potensial terkena dampak UUCK.
Ada juga dari beberapa firma hukum yang menerbitkan buku tentang UUCK, bukan bersikap kritis, tapi ditujukan untuk para pelanggannya agar dapat memanfaatkan UU itu, misalnya bagaimana caranya memecat buruh yang oke menurut para pengusaha, bagaimana cara mengurus izin investasi secara efisien; intinya adalah tips and tricks menggunakan UUCK.
Kedua, analisis buku ini tidak didasarkan pada clustering topik UU, tapi didasarkan pada perspektif dampak nyata yang dialami oleh segmen-segmen masyarakat yang potensial terdampak, yaitu petani, nelayan, buruh, masyarakat adat.
Pendekatan ini membuat para pembaca tidak akan terkecoh pada isi UUCK belaka, yang sangat legalistik. “Kebanyakan orang akan pusing kalau membaca semua isi UUCK terlebih dahulu, karena terlalu panjang (lebih dari 1000 halaman),” kata Bivitri.
Bivitri mengaku bahwa kalau membaca UUCK, dia hanya membacanya sejauh menyangkut topik tertentu yang diperlukannya. Misalnya kalau ingin tahu tentang pesangon, dia hanya membaca bagian pesangon. Atau tentang ekspor batubara, “ya lihat bagian itu saja. Saya tidak pernah membacanya secara utuh dari awal sampai akhir.”
Mengapa? Karena dari sisi bagaimana UU ini disusun, UUCK sangat tidak menarik dan sangat dibenci oleh para legal drafters. Model ‘omnibus’ ini adalah model yang menyebalkan. Orang yang membacanya akan pusing sekali, karena banyak penghilangan, pengubahan, penyisipan yang dipaksakan.
“Saya yakin bisa dipastikan orang-orang anggota DPR pun tidak ada yang membaca utuh. Paling-paling drafters-nya. Orang-orang dalam di antara para drafter pun juga lelah mengutak-atik UU sebelum jadi UUCK. Ada yang mencetak dengan printer, tebalnya sampai lima kardus. Saya pecinta pohon, saya tidak pernah nge-print UUCK. Untuk kepentingan presentasi, saya hanya memfoto halaman-halaman tertentu yang saya perlukan.”
Karena cara penyusunan UUCK sangat menyebalkan, sehingga malah akan menjauh masyarakat ketika ingin memahami apa dampak-dampak yang sebenarnya akan ditimbulkan oleh UUCK ini.
Studi yang menjadi policy brief dari IOJI (Indonesian Ocean Justice Initiative) memberikan catatan bahwa metode penyusunan omnibus law sudah tidak zamannya lagi, karena menyulitkan parlemen untuk mengaji secara mendalam rancangan/undang-undang di samping menyulitkan masyarakat memahami dan memberi masukan, prosesnya grusa-grusu, maraknya praktik penyelundupan pasal.
“Metode omnibus law yang sudah cacat ini kemudian dimanfaatkan secara curang untuk tujuan instan,” kata Bivitri lagi. Para corporate lawyers tentu senang dengan UUCK ini karena dengan UUCK ini mereka dapat membuat perubahan dalam waktu cepat.
“Tapi masalahnya adalah perubahan yang dapat dilakukan dengan cepat itu sesungguhnya untuk kepentingan dan keuntungan siapa?” tanya Bivitri. Di mata para lawyers yang bekerja di dunia hukum bisnis, yang mereka dengan perubahan cepat itu untuk kepentingan para investor.
Sistem perizinan yang dibuat efisien dengan sistem single submission, misalnya, pasti menyenangkan untuk mereka, apalagi prosesnya cukup dilakukan dengan mesin secara luring. Namun dampak lingkungan dari UUCK, dampak UUCK kepada masyarakat setempat yang terkena dampak, konsekuensinya, tidak diperhitung sama sekali.
Dalam hal ini izin hanya dipandang sebagai masalah perizinan saja, tanpa mempertimbangkan kaitannya dengan dampak-dampak sosial. Misalnya, orang-orang yang menginginkan agar perizinan dapat diperoleh dengan cepat tentu saja senang dengan aturan baru tentang PHK yang terdapat dalam UUCK, tidak lagi seperti sebelumnya ketika masih terdapat banyak kesulitan untuk perusahaan dalam melakukan pemecatan pegawai, buruh, pekerja.
Sebaliknya, menurut Bivitri, “tugas hukum yang sesungguhnya adalah menyetarakan yang tidak setara” (buruh, masyarakat adat, petani, dst di hadapan pengusaha besar), dan bukan terutama memberikan kemudahan untuk para pengusaha dan investor yang sudah terlalu kuat.
Sementara hukum kita hanya mengenali hal-hal yang terdokumentasi. Ketika para petani, masyarakat adat, nelayan tidak memiliki dokumen sertifikat, maka mereka tidak ada artinya di hadapan hukum. Seharusnya hukum dibuat bukan untuk kepentingan orang-orang kuat yang dapat memiliki keresmian dokumentasi.
Menanggapi proses pengesahan RUUCK dan pemberlakuan UUCK, Bivitri menegaskan bahwa UUCK tampak jelas menguntungkan pihak pemerintah, terutama sebagai menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartarto dan lingkaran para pendukungnya.
Demikian pula terkait dengan DPR, orang kebanyakan juga tahu bahwa tidak akan ada pihak yang bisa menghalangi DPR untuk menyetujui Perpuu UUCK, karena semua orang sudah tahu 80 persen anggota DPR adalah anggota koalisi pemerintah.
“DPR seharusnya Perpuu UUCK itu,” mengingat semua masalah telak terkait dengan UUCK. Tetapi fakta untuk meloloskan UUCK, pemerintah dan DPR melakukan segala cara, bahkan sampai nekad melanggar konstitusi (pasal 22 ayat 3 UUD 1945).
Sejak diusulkan kemudian cepat-cepat disahkannya UUCK pada 2020 sampai sekarang, semua kejadian yang terkait dengan UUCK mempertontonkan bahwa pemerintah melakukan segala cara untuk memberlakukan kebijakan dalam UUCK.
Semua kejadian yang sampai mencuat di ranah publik terkait proses deliberasi UUCK adalah:
- Pengungkapan publik bahwa banyak sekali yang jangkal dengan naskah UUCK termasuk kesalahan-kesalahan ketik (typo),
- Putusan MK tentang UUCK sebagai UU “yang inkonstitusional bersyarat” yang menimbulkan ketidakpastian hukum (seharusnya UUCK dibekukan dan dibatalkan), tapi kemudian
- Penerbitan instruksi menteri dalam negeri agar masing-masing pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan turunan UUCK padahal putusan MK menyatakan bahwa UUCK dibekukan terlebih dahulu selama dua tahun,
- Penerbitan perpuu yang dimaksudkan untuk menanggapi ketidakpastian hukum paska-putusan MK tentang UUCK, yang menyatakan UUCK berlaku.
“Yang terjadi di DPR semacam seremonial saja, seolah-olah tidak ada yang salah sama sekali dengan Perpuu/UUCK. Kemudian palu langsung diketok dan mikrofon dimatikan,” kata Bivitri.
Menanggapi semua yang terjadi terkait dengan UUCK, dalam menggambarkan semua situasi itu, menurut Bivitri, pilihan kata yang terbaik adalah “culas” karena segala cara dilakukan untuk memaksakan supaya kebijakan itu dapat disahkan. ***