Seorang wanita menuangkan air menggunakan ketel pada pertemuan para petani untuk menandai ulang tahun pertama protes mereka di pinggiran Delhi di Pakora Chowk dekat perbatasan Tikri, India, 26 November 2021. (REUTERS/Anushree Fadnavis)
Para petani di India ternyata juga berhadapan dengan masalah struktural dengan disahkannya oleh pemerintah sebanyak tiga pucuk undang-undang terkait pertanian. Kepentingan di balik UU Pertanian India sangat mirip dengan UU Cipta Kerja (UU CK).
Tapi apa bedanya dengan kita di Indonesia? Bedanya, para petani India itu berhasil membatalkan tiga UU Pertanian itu, sementara kita di Indonesia justru sebaliknya. UU CK tetap berlaku, juga sekalipun telah digugat masyarakat.
Nah, apa yang layak kita pelajari dari India sampai para petani gigih itu mampu memaksa Perdana Menteri Narendra Modi membatalkan UU jahanam itu?
Ada tiga undang-undang terkait langsung dengan nasib petani di India yang disahkan oleh parlemen India pada 2020, yaitu:
- UU yang mempromosikan dan memudahkan perdagangan hasil-hasil kerja para petani,
- UU yang memudahkan industri dan perdagangan komoditi utama, dan
- UU tentang pemberdayaan dan perlindungan terhadap para petani dalam bentuk persetujuan asuransi harga komoditi dan pelayanan usaha pertanian.
Judul-judul dari 3 UU ini tampaknya mendukung kepentingan petani tetapi ternyata sesungguhnya 3 UU ini mengarah pada penghapusan perlindungan minimum sebagai bagian dari kewajiban pemerintah terhadap harga hasil bumi (minimum support prices/MSP) tertentu yang dihasilkan oleh para petani. Jumlah hasil bumi tertentu yang dilindungi itu mencapai lebih dari 20 macam, termasuk tebu, padi, kedelai, kacang tanah, jagung, dll.
Penetapan harga hasil tanaman pangan dasar sangat diharapkan oleh para petani miskin terutama ketika mereka mengalami paceklik dan negara kekurangan pangan atau karena tiba-tiba harga komoditi anjlok.
MSP sudah ditetapkan sejak 1965 di India. Semula hanya untuk hasil bumi gandum tapi sekarang sudah sampai melindungi sebanyak 23 jenis komoditi pangan dasar. Tapi, dengan disahkannya 3 UU itu pada 5 Juni 2020 oleh Perdana Menteri Modi, para petani India khawatir bahwa harga semua hasil bumi itu akan ditentukan sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan besar swasta, tanpa ada lagi perlindungan publik apa pun.
Para petani India tidak langsung bergerak, tapi nyaris empat bulan kemudian, mulai 24/9/2020, para petani dari Punjab melakukan aksi demo selama tiga hari. Bulan-bulan berikutnya dipenuhi dengan demo-demo aksi protes sebagai wujud nyata gerakan memperjuangkan kepentingan para petani dari berbagai penjuru India.
Demo berlanjut itu baru berakhir pada awal Desember 2021. Durasi gerakan protes tanpa henti itu total berlangsung 15 bulan, sebelum akhirnya parlemen India meloloskan suatu RUU yang membatalkan 3 UU yang ditentang oleh para petani itu (Farm Laws Repeal Bill) pada 29/11/2021.
Perjuangan panjang para petani India ini luar biasa, dengan daya tahan all-out menghadapi konflik-konflik internal di antara mereka sendiri. Kita layak belajar dari mereka, bagaimana mereka tegar dan tetap gigih melawan manuver politik perundangan dari pemerintah pusat.
Tiga UU pertanian yang ditentang oleh para petani itu pun tak beda ciri jahatnya dengan UU Cipta Kerja karena sama-sama menyerahkan nasib rakyat di tangan para pengusaha swasta dengan kepentingan perusahaan-perusahaan besar mereka.
Keberhasilan gerakan petani juga ditandai dengan dikirimkannya pada 8/12/2021 suatu rancangan usulan pembatalan 3 UU jahanam itu disertai kesediaan pemerintah, dalam hal ini polisi, melepaskan semua petani-pemrotes yang ditangkap selama aksi protes dilakukan, tapi disertai dengan syarat dari pihak pemerintah bahwa pergerakan demonstrasi dihentikan.
Sehari berikutnya, para pemuka gerakan petani yang sebelumnya telah membentuk suatu front kesatuan perjuangan petani di tingkat nasional (SMK) bertemu dan menyatakan semua gerakan demo di ruang-ruang publik akan dihentikan dan akan pulang ke tempat asal masing-masing tapi hanya setelah merayakan kemenangan pada 11/12/2021 di semua titik penting pergerakan, yaitu di semua batas pinggir ibukota Delhi, di semua gerbang jalan tol, dan semua lokasi di mana dilakukannya demo-protes di seluruh India.
Tapi apa yang sesungguhnya menjadi kunci keberhasilan para petani India itu?
DESENTRALISASI ORGANISASI GERAKAN
Gerakan petani India mengutamakan pembentukan organisasi-organisasi petani secara terdesentralisasi, dengan susunan kepemimpinan masing-masing secara terpisah, tapi kemudian mereka mempersatukan diri secara bersama-sama di tingkat nasional dan membentuk suatu massa aksi yang dipersyaratkan harus sudah memiliki kesadaran kritis.
Dan massa aksi di India itu sungguh-sungguh sudah mengerti, memahami dan menyadari apa yang mereka hadapi dan apa yang mereka tuntut secara bersama-sama terhadap pihak pemerintah sebagai inti dari rejim kemapanan politik-ekonomi India.
Apa hebatnya susunan desentralistik ini? Ternyata struktur ini membuat pemerintah kebingungan mau menarget siapa atau organisasi yang mana ketika mau melancarkan serangan pelemahan.
KEGIATAN PENDIDIKAN UNTUK PETANI
Yang tak kalah penting adalah kegiatan pendidikan secara internal. Kegiatan ini menjadi benteng pertahanan untuk memastikan bahwa para pendukung utama gerakan petani sungguh-sungguh memahami semua masalah yang mereka hadapi dan memahami taktik perlawanan sehingga gerakan sosial itu tidak dapat dilemahkan apalagi dirusak dan dihancurkan oleh musuh.
Contoh hasil dari kegiatan pendidikan untuk para petani adalah bahwa mereka mampu bertahan untuk tidak mudah termakan isu negatif melawan atau yang melemahkan mereka. Salah satu musuh para petani adalah media-massa brodrex pro-kemapanan.
Misalnya, ketika media memberitakan bahwa pemimpin utama gerakan petani (Rakesh Tikait) mengambil keputusan sepihak, dikatakan tanpa persetujuan para petani yang lain, maka para petani-pemrotes di lapangan tidak menggubris isu yang diangkat media itu karena mereka tetap berpegang pada mandat konsensus semua organisasi petani yang sudah disepakati secara nasional dan pada kepercayaan pada susunan kepemimpinan yang sudah ditetapkan sebelumnya secara bersama dan sudah final.
Kepemimpinan yang sungguh dapat dipercaya bahwa si pemimpin benar-benar memperjuangkan kepentingan petani, dan bahwa dia tidak dapat dibeli dengan harga apa pun, adalah salah satu kunci utama keberhasilan gerakan sosial.

MENYAMPAIKAN PESAN TUNTUTAN SECARA MELUAS DI TINGKAT NASIONAL
Agar jelas secara publik, tuntutan itu akan harus diperlihatkan secara langsung tanpa keraguan bahwa memang didukung dengan kehadiran nyata dari ratusan ribu atau jutaan petani di seluruh India. Tapi yang lebih penting lagi adalah para petani menarget capaian mengepung ibukota Delhi dengan kehadiran semua petani-penuntut. Mereka sepakat melakukan aksi demo panjang.
Dan untuk itu, mereka memilih lokasi-lokasi berkemah selama berbulan-bulan di titik-titik yang mereka tentukan sendiri, tanpa bisa dikompromikan, yaitu di sebelah utara kota (Singhu), barat (Tikri), dan mendekati tengah kota (Ghazipur).
Ini pola taktik perang kuno yang diterjemahkan ke dalam gerakan sosial yang sudah dianjurkan sejak zaman kekaisaran Romawi, ekspansi militer Mongol, tapi juga di zaman modern dalam perang gerilya Che Guevara di Mexico.
Mereka mengumumkan pergerakan demonstrasi damai dan mogok umum nyaris setiap hari tak pernah terputus, untuk mendapatkan perhatian publik dan liputan media terutama ketika media mulai lupa pada isyu yang diperjuangkan para petani.
DEMO PANJANG SATU TAHUN LEBIH
Tapi dari semua pergerakan itu yang paling membuat mereka berhasil adalah kemampuan bertahan sampai lebih dari satu tahun. Tanpa keterlibatan dan daya tahan berkelanjutan, tuntutan para petani itu akan mudah dilupakan oleh pihak-pihak musuh dan diabaikan di tingkat nasional.
Hanya dengan memastikan kehadiran mereka secara terus-menerus di lokasi-lokasi batas ibukota itulah mereka mampu mempertahankan semua tuntutan dan desakan menjadi nyata dalam ingatan publik seluruh India.
Pastilah tidak dapat dikatakan mudah untuk mengorganisir pergerakan demo massal dalam waktu satu hari saja, tetapi, coba bayangkan apa yang diperlukan untuk terus-menerus mempertahankan demonstrasi selama setahun lebih?
Apalagi ketika mereka harus bertahan selama musim dingin dan musim panas yang menyengat? Dari sisi logistik, pastilah diperlukan perencanaan dalam skala besar dan kemampuan mengelolanya secara matang.
Ratusan ribu orang peserta aksi protes itu datang dari berbagai daerah, banyak yang berasal dari lokasi yang jauh. Mereka harus sudah siap dengan pakaian lengkap, pernak-pernik perlengkapan camping, persediaan makan, air minum, listrik, cuci pakaian, pelayanan kesehatan, toilet, bahkan ruang baca atau perpustakaan.
Program-program acara bersama harus disiapkan supaya semua peserta terlibat dan termotivasi. Tidak hanya main smartphone.
Demo aksi semacam itu juga membutuhkan kanal-kanal komunikasi yang lengkap untuk menyebarkan informasi di antara semua anggota komunitas yang berada dalam tenda-tenda, kontak-kontak diplomatik agar mampu melakukan tawar-menawar dengan pemerintah, pengelolaan media, dan yang paling penting adalah persediaan uang dan sumber-sumber lain yang diperlukan untuk menjamin agar semua keperluan di lapangan itu sungguh-sungguh terpenuhi.
Kepemimpinan gerakan sosial mudah sekali akan gagal ketika dia tidak sanggup menjamin ketersediaan dana dan logistik yang diperlukan. Mereka menyiapkan kanal donasi dari para petani anggota dan jalur pasokan tetap untuk berbagai keperluan bertahan hidup di lapangan.
Ini tidak main-main lagi, karena kemudian dilaporkan yang meninggal pada akhir aksi panjang itu mencapai sejumlah 750 orang, dengan berbagai macam sebab, kebanyakan di antaranya karena kekerasan dari pihak polisi, kecelakaan murni atau yang disengaja selama aksi, atau sakit akibat perubahan cuaca musim, bunuh diri.
BERKERAS KEPALA DENGAN TUNTUTAN: BATALKAN TIGA UU PERTANIAN!
Pada hari-hari pertama setelah para petani melancarkan aksi protes di sekitar ibukota Delhi, pemerintah berusaha meredakan ketegangan dengan cara mengajak mereka berbicara.
Dalam pertemuan itu petani ditawari makanan, tapi mereka menolak menyantap sajian pemerintah. Sebaliknya mereka membawa makanan sendiri. Ini mereka lakukan untuk memperlihatkan sikap tak bersedia kompromi: Total batalkan 3 UU pertanian! Komentar media meledek sikap petani itu sebagai orang kampung berkepala batu dan menengarainya sebagai taktik negosiasi yang buruk.
Pemerintah sesungguhnya menarget jika ada, cukup beberapa saja, organisasi petani yang bersedia menerima 3 UU pertanian itu, maka akan ada celah untuk membenarkan bahwa 3 UU itu memang bagus dan bermanfaat bagi petani.
Dan karenanya penguasa bisa memecah belah para petani dengan harapan muncul banyak faksi organisasi petani. Tapi semua dan masing-masing organisasi petani tegas menolak celah gagasan itu, dengan tetap tidak mau berkompromi sama sekali.
Sekalipun mereka tetap bersedia melakukan negosiasi dengan penguasa, para petani tetap bertahan dan malah terus menyebarluaskan pemahaman bahwa 3 UU itu merugikan kepentingan petani dan karenanya —plus bagaimanapun juga— harus dibatalkan semua nya.
Lalu muncul pertanyaan: Jika para petani-pemrotes mengetahui bahwa tuntutan mereka itu sangat memberatkan tujuan pemerintah, mengapa mereka tetap bersedia bernegosiasi dengan pemerintah?
Jawabannya jelas yaitu bahwa para petani ingin menampilkan diri bahwa mereka mampu mengambil pilihan sikap yang masuk akal tapi kemudian mereka juga ingin membelokkan pendapat masyarakat agar lebih menguntungkan untuk kepentingan mereka.
Jadi intinya, para petani bermaksud ingin mengendalikan pendapat publik dan menyasar supaya akhirnya pemerintah bersedia menerima tuntutan mereka untuk membatalkan 3 UU jahanam itu.
MENJALIN DUKUNGAN MASYARAKAT LUAS
Para petani itu sadar sekali bahwa mereka memerlukan dukungan masyarakat luas. Begitu masyarakat memahami dan menerima sikap para petani, warga masyarakat pendukung juga akan menyebarluaskan setidaknya informasi tentang masalah dan kepentingan para petani itu.
Tapi para petani juga sadar bahwa dukungan masyarakat itu haruslah bersesuaian dengan persyaratan mereka, jangan sampai terpelintir ke tujuan yang lain.
Dan sebaliknya para petani sadar bahwa media massa pasti juga akan ikut menyebarkan informasi tentang kepentingan mereka, tapi mereka tahu bahwa media massa pro-pemerintah itu kemudian akan lebih condong memelintir atau menggeser isyu sehingga malah melemahkan gerakan sosial para petani itu sendiri.
Para petani itu menyadari bahwa media massa mainstream memiliki kekuasaan yang begitu besar. Apa susahnya bagi mereka jika hanya mau memelintir berita. Oleh karenanya para petani itu juga menyadari bahwa media massa mainstream tidak akan mendukung sepenuhnya kepentingan para petani.
Karenanya pula, jalan keluarnya hanya satu yaitu membangun berbagai media berita cetak milik sendiri, seperti Trolley Times, tapi juga terutama melalui media sosial seperti Youtube. Para petani itu sadar mereka sedang berhadapan dengan perang narasi di ruang publik.
Karenanya mereka harus mampu pula mengendalikan penyebaran dan mengatur ketersebaran pesan-pesan kepentingan mereka di dalam ruang-ruang narasi publik. Untuk itu, mereka melakukan semua daya upaya untuk menggunakan media sosial dan menyebarkan pesan-pesan viral termasuk menggaet simpati selebriti asing, tokoh-tokoh India yang terkemuka, dll.
Mereka juga menyampaikan pemahaman publik bahwa mereka memerlukan banyak dukungan publik karena mereka ingin berhasil dalam memperjuangkan pencabutan 3 UU jahanam itu.
MENOLAK JALUR GUGATAN HUKUM KE MAHKAMAH AGUNG
Singkat kata, para petani lebih mengutamakan mendapatkan dukungan publik daripada mengambil pilihan melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung India. Sejarah telah membuktikan bahwa mahkamah agung akan mendahulukan kepentingan pemerintah.
Jika mahkamah memperlihatkan kepedulian pada para petani, hasil putusan paling mentok berupa kompromi jalan tengah, dan itu pasti akan lebih menguntungkan pemerintah daripada para petani itu sendiri.
Jika para petani ikut menggugat, opini publik juga dapat dengan mudah diputar balik untuk menjatuhkan para petani terutama jika para petani kemudian dipersalahkan telah tidak menghiraukan persidangan.
Sebaliknya pihak pemerintah juga terus berusaha untuk menjatuhkan integritas gerakan sosial para petani. Berikut ini ada tiga peristiwa yang layak dicatat.
Pertama, terjadinya kekerasan melibatkan orang-orang bayaran, setelah beberapa orang petani-pemrotes mengibarkan bendera di sekitar gedung istana bersejarah Red Fort di Delhi (26/1/2021).
Yang kedua, gerakan petani juga dituduh telah ditunggangi oleh kelompok separatis Khalistan atau pihak-pihak asing lain, tapi untungnya para pemuka petani setempat selalu kembali kepada tuntutan utama.
Ketiga, kejadian digilasnya beberapa orang petani-pemrotes oleh mobil-mobil konvoi publik yang di dalamnya ada anak menteri dalam negeri India, sementara pemerintah sangat lelet mengurus kejadian ini.
Kejadian ini sesungguhnya potensial bikin panas hati para petani, karena beberapa orang petani-pemrotes sampai meninggal, tapi serangan provokatif ini dapat diredakan oleh para pemuka petani.
Berbagai upaya pemerintah untuk mencoba menghancurkan kekuatan gerakan sosial petani ternyata lebih banyak gagal. Ini karena pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan kekuatan kekerasan dari polisi. Cara-cara represif sudah jelas membuat pemerintah semakin tidak populer lagi di mata khalayak masyarakat luas.
Penyidikan pajak pendapatan yang sering menjadi pintu masuk pemerintah untuk menyerang pihak lain yang dipandang merugikan pemerintah di India ternyata juga tidak dapat dipakai karena jangankan bayar pajak, catatan publik tentang arus pendapatan pun tidak dimiliki oleh para pemimpin organisasi petani di India. ***