Studi Kasus: Bendungan Jatigede, Bendungan Karian, Bendungan Jlantah dan Bendungan Nipah
Riset ini menyingkap bagaimana pelaksanaan nilai-nilai hak asasi manusia dari proyek strategis nasional (PSN), secara khusus dalam pembangunan bendungan. Sampai 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan sebanyak 278 PSN dimana sebanyak 60 PSN di antaranya adalah proyek infrastruktur bendungan.
Sudah banyak pengalaman di masa lalu terkait dengan dampak sosial yang menyengsarakan warga terdampak pembangunan bendungan, seperti yang terjadi dalam kasus pembangunan bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah.
Apakah pemerintahan Jokowi mampu belajar dari pengalaman masa lalu terkait dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warga masyarakat?
TUJUAN
- Mengetahui substansi regulasi yang menjadi acuan pembangunan bendungan,
- Mengetahui pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam setiap tahapan pembangunan bendungan,
- Mengetahui kondisi masyarakat terdampak pasca-relokasi dan pasca-pembangunan bendungan,
- Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek pembangunan bendungan,
- Mengetahui siapa saja yang mendapatkan manfaat dari proyek tersebut.
SIGNIFIKANSI
Tentu kita masih ingat tentang kasus Rempang, kasus pelaksanaan proyek strategis nasional yang bakal menggusur warga secara massif dengan seluruh ruang hidup mereka. Kasus Rempang bukanlah satu-satunya kasus proyek PSN yang bermasalah.
Ada banyak pelaksanaan proyek strategis nasional yang bermasalah dan karenanya penting bahwa PSN dievaluasi, bukan hanya pelaksanaannya tetapi juga kebijakan dan aturannya.
Bicara PSN salah satunya adalah bicara infrastruktur. Pembangunan infrastruktur merupakan program pemerintah yang gencar dilakukan dalam 20 tahun terakhir, terutama di era pemerintahan Presiden Jokowi yang mempercepat dan memperluas pembangunan proyek infrastruktur lewat skema proyek strategis nasional.
Untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional, Presiden telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016, Perpres 58/2017, Perpres 56/2018 dan Perpres 109/2020.
Dengan Perpres 3/2016 pemerintah menetapkan 225 proyek strategis nasional, termasuk di antaranya adalah 59 proyek pembangunan bendungan/waduk di berbagai daerah. Kemudian dengan Perpres 58/2017 diperbaiki menjadi 248 proyek strategis nasional – termasuk di antaranya adalah 60 proyek pembangunan bendungan.
Dalam hal pemajuan hak asasi manusia, pembangunan infrastruktur bagi masyarakat luas memang diperlukan, seperti pembangunan jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, pendidikan, dan lainnya. Pembangunan infrastruktur yang dijalankan dengan memperhatikan standar hak asasi manusia juga berpotensi memenuhi hak-hak dasar bagi kelompok rentan, seperti kelompok perempuan, kelompok penyandang disabilitas, lansia, dan lainnya.
Dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan infrastruktur juga menjadi prioritas dan dianggap strategis karena mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.
Namun banyak kasus menunjukkan, pembangunan infrastruktur juga sangat rentan dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya. Potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam pembangunan infrastruktur sangatlah besar, apalagi bila pembangunannya dilaksanakan dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sebab PSN pembangunannya sangat massif (unit proyek pembangunannya sangat banyak), dilakukan dalam waktu cepat atau dengan durasi yang relatif pendek dan dampaknya sangat besar dan luas bagi kehidupan warga dan masyarakatnya.
Proyek strategis nasional yang pembangunannya berpotensi memberi dampak besar dan luas bagi masyarakat di antaranya adalah proyek pembangunan bendungan di berbagai daerah di Indonesia yang berpotensi menggusur ruang hidup masyarakat secara massif.
Pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional, khususnya bendungan, membutuhkan tanah dalam skala luas. Semakin besar bendungan, semakin luas tanah dibutuhkan dan semakin banyak warga yang berpotensi menjadi korban penggusuran tempat tinggal, lahan, dan ruang kehidupannya. Warga dipaksa atau terpaksa pindah dari tempat tinggalnya semula.
Terkait dengan penggusuran tempat tinggal Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB Nomor 1993/77 dan 2004/28 menetapkan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tempat tinggal layak.
Sebab penggusuran paksa berdampak terhadap segenap spektrum hak asasi manusia yang diakui secara internasional, termasuk hak atas standar penghidupan layak (yang mencakup tempat tinggal yang layak, sandang, pangan dan air), hak atas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan pribadi, keamanan rumah, kebebasan dari perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, serta kebebasan bergerak.
Penggusuran paksa meningkatkan kesenjangan, konflik sosial, diskriminasi dan “pengucilan”, dan tanpa terkecuali mempengaruhi sektor masyarakat termiskin, yang paling rentan dan terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, khususnya perempuan, anak-anak, kaum minoritas dan masyarakat adat.
Dalam banyak kasus, korban penggusuran paksa berasal dari kelompok tertentu, yaitu kelompok miskin dan kelompok marjinal yang tidak memiliki pengaruh untuk mengubah keputusan dan desain atas proyek yang mengarah pada penggusuran paksa.
Sering bahwa kemiskinan merekalah yang membuat mereka menjadi target karena ketidakmampuan mereka untuk melawan atau bertahan. Diskriminasi seringkali adalah faktor dari penggusuran paksa. Terkait dengan pembangunan yang melibatkan penggusuran, PBB sudah mengeluarkan Prinsip dan Panduan Dasar terkait Penggusuran dan Pemindahan Berbasis Pembangunan.
Prinsip dan panduan tersebut memberikan arahan agar pembangunan fisik yang dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak dasar warga tidak dijalankan dengan penggusuran paksa yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Untuk menjawab pertanyaan “Mengapa ada banyak masalah dalam pelaksanaan PSN”, Ecosoc Institute telah melakukan kajian atas kebijakan dan pelaksanaan PSN, dengan studi kasus proyek pembangunan empat bendungan di Jawa, yaitu Bendungan Jatigede di Jawa Barat, Bendungan Karian di Banten, Bendungan Nipah di Jawa Timur, dan Bendungan Jlantah di Jawa Tengah.
Kajian dijalankan dengan menggunakan parameter Prinsip Panduan PBB terkait Penggusuran dan Pemindahan Berbasis Pembangunan. Proyek bendungan dipilih sebagai studi kasus dalam kajian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bendungan memberikan dampak yang sangat luas terhadap warga setempat.
Sangat pentingnya kajian ini juga didasari pada fakta belum memadainya kajian mendasar yang menguji pelaksanaan hak asasi manusia terhadap proyek pembangunan bendungan, terutama selama era pemerintahan Presiden Jokowi.
METODOLOGI
Bendungan yang akan menjadi studi kasus dipilih secara sengaja, yaitu:
- Bendungan Nipah (kabupaten Sampang, Jawa Timur),
- Bendungan Jatigede (kabupaten Sumedang, Jawa Barat),
- Bendungan Jlantah (kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dan
- Bendungan Karian (kabupaten Lebak, Banten).
Keempat bendungan tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan berikut:
- Bendungan Nipah: sudah selesai dibangun dan sudah diairi, tergolong bendungan yang relatif kecil, terdapat konflik selama proses pembangunannya, dan durasi pembangunan panjang dan melibatkan beberapa periode pemerintahan
- Bendungan Jatigede: sudah selesai dibangun dan sudah diairi, tergolong bendungan yang besar, terdapat konflik selama proses pembangunannya, dan durasi pembangunan Panjang dan melibatkan beberapa periode pemerintahan
- Bendungan Jlantah: belum selesai dibangun, warga sudah dipindahkan, tergolong bendungan yang relatif kecil, tidak terdapat konflik selama proses pembangunannya, dan pembangunan dilakukan di periode pemerintahan Jokowi
- Bendungan Karian: belum selesai dibangun, warga sudah dipindahkan, tergolong bendungan besar, tidak terdapat konflik selama proses pembangunannya, dan pembangunan dilakukan di periode pemerintahan Jokowi.
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:
- Diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan perwakilan warga dari desa-desa terdampak,
- Wawancara mendalam dengan warga dan tokoh masyarakat dari desa-desa terdampak; para pengambil keputusan dari tingkat kabupaten dan nasional, dan dengan perwakilan lembaga-lembaga yang terkait dengan pembangunan waduk,
- Wawancara mendalam dengan keluarga korban terdampak di setiap lokasi studi dengan beragam dampak (yang tidak mendapatkan ganti rugi, tidak mendapatkan tempat tinggal, keluarga yang anggotanya sampai meninggal karena jadi korban kekerasan, korban kriminalisasi, tidak mendapatkan layanan dasar, kondisi perempuan kepala keluarga [pencari nafkah] dan anak-anak, yang berusia lanjut, difabel, dll.),
- Analisis data sekunder.
Responden untuk FGD dipilih secara acak dari desa-desa terdampak. FGD di setiap lokasi waduk dilakukan sebanyak 4-5 kali, masing-masing dihadiri oleh paling banyak 20 orang.
Pengolahan dan analisa data dilakukan secara kualitatif. Analisis data menggunakan parameter hak asasi manusia dan aturan perundangan yang berkaitan dengan pembangunan bendungan.
SEGERA UNDUH! Draft dokumen kerangka acuan riset ini, catatan kesimpulan dan rekomendasi dapat Anda unduh di sini.